Laman

Jumat, 30 September 2011

Cerpen "Sepatu Sebelahku"



Karya : Fadelun Heryanto

            Matahari mulai malu menampakkan dirinya terlihat jelas diwajah merahnya. Aku tahu tidakkan ada lagi kotak besi biru berlalu lalanguntuk mengantarku pulang. Aku beranjak dari kursi taman, mengambil keputusan yang tepat untuk pulang dengan berjalan, padahal bumi baru saja dibasahi hujan. Bukan tidak ingin berjalan namun aku merasa lelah seharian di gedung berkotak awal dari semua kehidupanku, selain itu jalan yang basah akan membuat sepatu baruku basah pula. Aku berfikir untuk melepas alas kaki kesayanganku dan satu-satunya masuk ke dalam tas dan aku pun berjalan tanpa alas kaki.berjalan di kota yang sesak saat sore ini menambah tubuhku letih apalagi aspal yang tidak rata membuat kakiku sakit dan basah karena genangan air yang akulewati.
            Tiba di istana namun tak lupa bersujud dan menghadap kepada yang kuasa. Air hangat membasahi tubuh membuat sedikit penat dalam fikiranku hilang serta letih tubuhku terbayar.
            Hari panas, hujan seperti biasa aku lewati di gedung berkotak tempat mencari ilmu. Pergi kesana sebelum matahari terbit dan pulang ketika matahari tepat akan meninggalkan tempat. Dan bisa dibayangkan gedung ini adalah rumah kedua bagiku tentu saja waktu sebelas jam berada di gedung bersama keluarga besar tanpa ikatan darah dengan semua peraturan yang ada serta orangtua yang bahkan memiliki sejuta penat labih dari aku rasakan namun kenapa dia begitu nyaman.
            Sabtu saat semua berpakaian coklat-coklat dan bicara bercampur bahasa asing. Aku membantu salah seorang orang tua ku memindahkan barang0barang dari gedung a ke gedung c, melepaskan alas kaki memasuki ruang bersih itu bersama teman-temanku mengangkut lemari. Tak kuduga aku bingung setelah membantu aku melihat sekeliling sepatuku hanya ada satu ya satu saja bukan satu pasang tapi satu buah sebelah kiri, aku bingung marah apalagi melihat teman-temanku yang aku anggap saudar hanya diam dan tak perduli. Tak tahu harus berfikir apa orang yang aku lindungi ketika susah malah tak perdulikan aku, air susu dibalas air tuba, itulah peribahasa yang pas buat mereka. Aku marah dan bingung memegang sepatuku sebelah kiri. Aku berfikir esok apa yang harus aku kenakan untuk menutupi kaki ini, “sandal” pastinya siap menerima hukuman dan aku pun berfikir bagaimana aku pulang nanti, tak ingin lagi aku berjalan tanpa alas kaki yang membuat kaki-kaki ini menjerit. Aku menangis di dalam hati atas perbuatan mereka yang tak acuh kepadaku atau kah manusia sekarang seperti itu tak peduli lagi pada saudaraatau aku ada salah, tetapi mengapa mereka semua harus demikian.
            Membeli alas kaki menghabiskan uang jajanku hari ini sandal ituyang ukuranya pun tak menutupi semua kakiku. Aku pulang berjalan kaki namun hati ini masih merasa sedih dengan sepatu yang telah ditinggal pasanganya aku pegang erat selama perjalanan pulang. Orang tuaku pasti tidak akan membelikan aku sepatu baru karena sepatu itu saja masih berumur muda , apalagi kondisi ekonomi orang tuaku saat ini tak sampai hati diriku meminta sepatu baru.
Di rumah, di istana ku berbicara pada ibu. Ibu hanya tersenyum memberi uang tak banyak dan menunjuk gudang, aku berlari ke gudang melihat sepatu lusuhku yang telah sobek, aku mengerti ibu menyuruhku ke sol sepatu membawa sepatu lusuh dan uang itu. Pulang dari sol sepatu melihat sepatu lusuhku seperti habis operasi sempit memang namun itu telah membuat aku tersenyum lagi. Kini sepatu ku yang ditinggal pasangannya aku letakkan di atas meja belajarku, hingga aku selesai dari gedung berkotak-kotak itu sepatu sebelahku mengingatkan kenangan pahit dari saudara-saudara seperjuanganku

Tidak ada komentar: