Oleh
:Fadelun heryanto
Sungai batanghari memang tenang tapi
deras ditepi, ku melamun di pinggirnya membayangkan orang-orang yang sudah ditelan sungai ini
“tenang namun menghanyutkan, indah namun kotor “ itulah kata yang tepat untuk
sungai ini. Sungai yang terpanjang di sumatera ini jelas melewati sebuah tempat
yang dulunya sebuah kerajaan yang jaya, kaya, megah dipimpin seorang sultan
yang bijaksana dan arif sayangnya karena jatuh cinta dia merelakan harta
kerajaan untuk sang wanita cantik yang tidak mencintainya sama sekali bahkan
ingin merebut kekuasaan dari sang sultan itu. Dan pada akhirnya kerajaan ini
runtuh akibat cinta yang salah hingga berpaling tangan pada puteri yang kini
dikenal dengan puteri pinang masak. Walaupun puteri berhasil merebut kerajaan
ini namun hatinya gundah menyesal karena ketamakan dan harus memperjuangkan
kerajaan dan menjaga hartanya yang berharga bagi sang puteri hingga akhir
hayatnya terbudakkan akan harta. Sepenggal cerita yang kubaca dari buku lusuh mengenai
Jambi kota
beradat yang orang tinggal didalamnya sangat ramah beraneka macam bentuk budaya
pribumi, jawa, batak, minang, cina, arab, dan lainya.
Aku merasa hari sangat mencekap matahari menusuk dari atas namun ku
tetap berjalan ke sebuah rumah bagiku mungkin sebagian orang atas tak pantas
itu menyebut rumah tapi itulah istana bagiku kecil memang tak sampai 3 m x 3 m,
dipinggir sungai batanghari berdiri sendiri beratapkan terpal berdinding
triplek dan seng dan berbentuk panggung kalau hujan tak kan sampai hati aku
melihat bahkan rasa dingin dan basah menghampiri dan jika terik panas menerpa
paling tidak aku terhindar dari ancaman bertambah hitamnya diriku, ya walau aku
tetap pede dengan apa yang diberi Tuhan.
Rasanya sore ini aku harus mencari makan
karena perutku sudah bernyanyi-nyayi sepotong roti pun tak apalah sudah mampu
menahan nyanyian dari perut ini hingga besok lagi. Roti kudapat membeli di toko
depan hanya satu karena aku peranah diajarkan berhemat walau pun aku bisa
membeli dua, sepotong itu pun aku belah dua untuk makan malam ini dan besok
pagi. Hari seperti biasa mencekam hidupku namun aku tetap tegar dalam hidup ini
aku juga berfikir orang yang diatas sana
tak ada artinya jika tidak ada orang-orang seperti aku, mereka hanya bisa
memakai dan membuang sedangkan aku bisa membersihkan dan mengolah.
Di tumpukan sampah aku menemukan
buku-buku pelajaran aku membawa pulang karena aku suka membaca walau aku tidak
pernah sekolah tapi aku sudah pernah ikut belajar membaca dengan para
orang-orang tua yang tuna aksara, hingga kini belajar dan membaca itu penting
akupun suka membaca dari situ, aku memang tidak sekolah karena tidak ada
seorangpun yang mau mengurusku bahkan aku sendiri hanya ada uang untuk bertahan
hidup makan dan minum sudah cukup bagiku. Aku tidak pernah menjual majalah buku
pelajaran atau buku lainya yang aku dapat malah aku pelajari aku memang
pemulung namun aku berwawasan dari majalah dan buku bekas.
Terakhir aku baca sebuah buku
mengenai ancaman tsunami yang mengerikan akupun mengkhayal jika aku kena
tsunami apalagi rumahku dipinggir air. Aku ketakutan aku melapor pada orang
sekitar tapi apa aku malah ditertawakan, ya karena tsunami tidak terjadi
dipinggir sungai dan majalah itu berangka 2004 sedangkan sekarang sudah 2011.
aku malu sendiri dan sekarang aku sadar akan sekolah tapi siapa yangpedulikan
aku aku mengetahui politik negeri dari majalah tempo, aku tahu cerpen , dongeng
dari majalah bobo, aku tahu menghitung dari buku matimatika kelas satu sd, smp
bahkan aku tahu bahasa inggris dari majalah xy kids. Membaca bukan cumin
memperhatikan bacaan tapi juga memahami
bacaan itu yang membuat aku bahagia membaca adalah hobi seorang anak pemulung.
Manfaat itu tak aku gunakan sendiri aku mengajari anak-anak kecil juga yang
tidak sekolah belajar membaca menghitung dengan ilmu yang minim tapi tak
membuat aku gentar aku juga terus belajar dengan membaca apapun buku yang dapat
aku baca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar