Karya
: Fadelun Heryanto
Matahari mulai malu menampakkan
dirinya terlihat jelas diwajah merahnya. Aku tahu tidakkan ada lagi kotak besi
biru berlalu lalanguntuk mengantarku pulang. Aku beranjak dari kursi taman,
mengambil keputusan yang tepat untuk pulang dengan berjalan, padahal bumi baru
saja dibasahi hujan. Bukan tidak ingin berjalan namun aku merasa lelah seharian
di gedung berkotak awal dari semua kehidupanku, selain itu jalan yang basah
akan membuat sepatu baruku basah pula. Aku berfikir untuk melepas alas kaki
kesayanganku dan satu-satunya masuk ke dalam tas dan aku pun berjalan tanpa
alas kaki.berjalan di kota
yang sesak saat sore ini menambah tubuhku letih apalagi aspal yang tidak rata
membuat kakiku sakit dan basah karena genangan air yang akulewati.
Tiba di istana namun tak lupa
bersujud dan menghadap kepada yang kuasa. Air hangat membasahi tubuh membuat
sedikit penat dalam fikiranku hilang serta letih tubuhku terbayar.
Hari panas, hujan seperti biasa aku
lewati di gedung berkotak tempat mencari ilmu. Pergi kesana sebelum matahari
terbit dan pulang ketika matahari tepat akan meninggalkan tempat. Dan bisa
dibayangkan gedung ini adalah rumah kedua bagiku tentu saja waktu sebelas jam
berada di gedung bersama keluarga besar tanpa ikatan darah dengan semua
peraturan yang ada serta orangtua yang bahkan memiliki sejuta penat labih dari
aku rasakan namun kenapa dia begitu nyaman.
Sabtu saat semua berpakaian
coklat-coklat dan bicara bercampur bahasa asing. Aku membantu salah seorang
orang tua ku memindahkan barang0barang dari gedung a ke gedung c, melepaskan
alas kaki memasuki ruang bersih itu bersama teman-temanku mengangkut lemari.
Tak kuduga aku bingung setelah membantu aku melihat sekeliling sepatuku hanya
ada satu ya satu saja bukan satu pasang tapi satu buah sebelah kiri, aku
bingung marah apalagi melihat teman-temanku yang aku anggap saudar hanya diam
dan tak perduli. Tak tahu harus berfikir apa orang yang aku lindungi ketika susah
malah tak perdulikan aku, air susu dibalas air tuba, itulah peribahasa yang pas
buat mereka. Aku marah dan bingung memegang sepatuku sebelah kiri. Aku berfikir
esok apa yang harus aku kenakan untuk menutupi kaki ini, “sandal” pastinya siap
menerima hukuman dan aku pun berfikir bagaimana aku pulang nanti, tak ingin
lagi aku berjalan tanpa alas kaki yang membuat kaki-kaki ini menjerit. Aku
menangis di dalam hati atas perbuatan mereka yang tak acuh kepadaku atau kah
manusia sekarang seperti itu tak peduli lagi pada saudaraatau aku ada salah,
tetapi mengapa mereka semua harus demikian.
Membeli alas kaki menghabiskan uang
jajanku hari ini sandal ituyang ukuranya pun tak menutupi semua kakiku. Aku
pulang berjalan kaki namun hati ini masih merasa sedih dengan sepatu yang telah
ditinggal pasanganya aku pegang erat selama perjalanan pulang. Orang tuaku
pasti tidak akan membelikan aku sepatu baru karena sepatu itu saja masih
berumur muda , apalagi kondisi ekonomi orang tuaku saat ini tak sampai hati
diriku meminta sepatu baru.
Di
rumah, di istana ku berbicara pada ibu. Ibu hanya tersenyum memberi uang tak
banyak dan menunjuk gudang, aku berlari ke gudang melihat sepatu lusuhku yang
telah sobek, aku mengerti ibu menyuruhku ke sol sepatu membawa sepatu lusuh dan
uang itu. Pulang dari sol sepatu melihat sepatu lusuhku seperti habis operasi
sempit memang namun itu telah membuat aku tersenyum lagi. Kini sepatu ku yang
ditinggal pasangannya aku letakkan di atas meja belajarku, hingga aku selesai
dari gedung berkotak-kotak itu sepatu sebelahku mengingatkan kenangan pahit dari
saudara-saudara seperjuanganku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar